SELAMAT DATANG DI SULUH PENDIDIKAN

Cahaya untuk Dunia Pendidikan Indonesia yang Lebih Baik

Kamis, 25 Maret 2010

ANALISIS PSIKOLINGUISTIK GEMBIRA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sudah takdir manusia sejak lahir sampai mati tidak dapat hidup sendiri. Untuk itu, ia membutuhkan cara untuk berhubungan dengan manusia lainnya. Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dorongan dan minat untuk mencapai dan memiliki sesuatu. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat seseorang itu terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosionalnya (perkembangan psikologisnya).

Perjalanan hidup tiap orang tentu tidak sama. Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginannya dapat terpenuhi atau tercapai, cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil. Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu memenuhi keinginannya karena kurangnya kemampuan ekonomi dan kondisi lingkungan yang kurang menunjang, kemungkinan besar perkembangan emosinya terganggu.

Ketika bayi cara kita mengungkapkan sesuatu masih berbentuk perilaku nonverbal sederhana yakni : diam, bermain dengan tangan dan kaki, menangis, baru kemudian tersenyum, tertawa, dan mengoceh. Respon seseorang terhadap perilaku bayi ini tentunya berbeda dengan respon terhadap orang dewasa yang mengungkapkan emosinya. Seorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan objektif. Akan tetapi, pada saat-saat tertentu di dalam kehidupannya, dorongan emosional banyak campur tangan dan memengaruhi pikiran-pikiran dan tingkah laku seseorang.

Perbuatan atau perilaku kita sehari-hari pada umumnya disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini, kadang-kadang lemah, kadang-kadang tidak jelas (samar-samar), kadang-kadang kuat. Ketika warna afektif tersebut kuat, perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti ini disebut emosi (Sarlito,1982:59, dalam Sunarto dan Hartono,2002:149). Di samping perasaan senang atau tidak senang, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas, dan benci.

Perasaan gembira tentu pernah dialami oleh semua makluk hidup di dunia ini. Pada umumnya, individu dapat kembali mengingat pengalaman-pengalaman menyenangkan yang pernah dialaminya. Emosi gembira ini cenderung mencapai puncaknya ketika seseorang menginjak usia remaja. Jika kita menghitung hal-hal menyenangkan tersebut, kita tentu mempunyai cerita yang panjang dan lengkap tentang apa yang terjadi dalam perkembangan emosi remaja.

Perasaan gembira yang dialami oleh manusia, khususnya remaja, belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian para peneliti jika dibandingkan dengan perasaan marah dan takut atau tingkah laku problema lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami jika segala sesuatu yang dipikirkan, dikehendaki, dan dilakukan oleh seseoarang berlangsung dengan baik dan lancar. Seseorang tentu gembira jika diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya tersebut mendapat sambutan yang hangat dari orang yang ia cintai.

Secara realita, kita kerap tidak paham secara pasti maksud seseorang apabila hanya memperhatikan bahasanya saja. Petutur, atau pengguna bahasa menyadari keterbatasan bahasa ini. Biasanya, pengguna bahasa akan menggunakan nada suara, ekspresi wajah, gerakan tangan tertentu (aktivitas nonverbal) untuk menekankan apa yang dimaksudkan. Berdasarkan kenyataan inilah, seseorang harus belajar mengutarakan apa yang ia maksudkan melalui perilaku nonverbal. Dengan memahami realitas nonverbal ini, seseorang akan mampu mengartikan gerakan nonverbal lawan bicaranya.

Kemampuan mengartikan dan mengungkapkan aspek-aspek komunikasi nonverbal ini sangat perlu diketahui secara saksama oleh segenap masyarakat bahasa. Perilaku nonverbal tersebut merupakan tanda tentang gejolak emosi yang sedang dialami oleh individu. Reaksi psikologis terhadap stimuli yang berasal dari luar maupun dalam diri individu dapat terungkap dalam perilaku nonverbal. Jika kita tidak menguasai aspek nonverbal ini, tidak tertutup kemungkinan kita salah menafsirkan ekspresi seseorang. Bisa jadi kita salah menafsirkan tanda-tanda nonverbal orang yang gembira melihat kita. Buntut kesalahan tafsir ini tentu akan berpengaruh negatifpada psikologis lawan bicara kita. Ia bisa saja tersinggung lalu mencampakkan kita pada perjumpaan-perjumpaan selanjutnya.

Manusia mempunyai ranah psikologis yang bersifat kognitif, afektif dan konatif. Ranah kognitif telah banyak diteliti demikian pula ranah konatif. Akhir-akhir ini ranah afektif mulai diteliti dengan lebih mendalam, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ketiga ranah tersebut berhubungan erat satu sama lainnya dalam diri seseorang. Emosi adalah salah satu aspek psikologis manusia dalam ranah afektif. Aspek psikologis ini sangat berperan penting dalam kehidupan manusia pada umumnya dan dalam hubungannya dengan orang lain pada khususnya. Sering terjadi orang mengabaikan emosi yang dialaminya karena itu dianggap tidak penting. yang lebih penting menurutnya adalah cara berpikir ataupun ranah kognitifnya.

1.2 Rumusan Masalah

Becermin pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan berikut ini.

1. Gejala apa saja yang dapat dirunut berkaitan dengan psikolinguistik gembira?

2. Bagaimana aspek linguistik psikolinguistik gembira?

3. Bagaimana aspek nonlinguistik psikolinguistik gembira?

4. Bagaimana aspek pikiran psikolinguistik gembira?

5. Apa penyebab psikolinguistik gembira?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, sebagai berikut.

1. Mengetahui secara saksama gejala yang dapat dirunut berkaitan dengan psikolinguistik gembira.

2. Mengetahui secara saksama aspek linguistik psikolinguistik gembira.

3. Mengetahui secara saksama aspek nonlinguistik psikolinguistik gembira.

4. Mengetahui secara saksama aspek pikiran psikolinguistik gembira.

5. Mengetahui secara saksama penyebab psikolinguistik gembira.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Psikologis

Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental (Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia).

Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an.) Tetapi, orang di sepanjang sejarah telah memperhatikan masalah psikologi. Seperti filsuf yunani terutama Plato dan Aristoteles. Setelah itu St. Augustine (354-430) dianggap tokoh besar dalam psikologi modern karena perhatiannya pada intropeksi dan keingintahuannya tentang fenomena psikologi. Descrates (1596-1650) mengajukan teori bahwa hewan adalah mesin yang dapat dipelajari sebagaimana mesin lainnya. Ia juga memperkenalkan konsep kerja refleks. Banyak ahli filsafat terkenal lain dalam abad tujuh belas dan delapan belas—Leibnits, Hobbes, Locke, Kant, dan Hume—memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, psikologi lebih mengaji sisi – sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Karena jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara empiris, padahal objek kajian etiap ilmu harus dapat diobservasi secara indrawi. Dalam hal ini jiwa atau “keadaan jiwa” hanya biasa diamati melalui gejala – gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung, orang yang marah akan mudah berang, dan orang yang gembira tampak dari gerak-geriknya yang riang, meskipun kita juga sering mendapat kesulitan untuk mengetahui keadaan jiwa seseorang dengan hanya melihat tingkah lakunya saja. Tidak jarang kita jumpai seseorang yang sebenarnya jengkel tetapi tetap tenang atau malah tertawa.

Psikologi terbagi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut, diantaranya psikologi yang mentalistik, psikologi yang beharioristik, dan psikologi yang kognitifistik.

Psikologi yang mentalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan utamanya adalah mencoba mengaji proses – proses akal manusia dengan cara mengintropeksi diri. Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran psikologi prilaku. Tujuan utamanya adalah mencoba mengaji perilaku manusai yang berupa rekasi apabila suatu rangsangan terjadi dan selanjutnya bagaimana mengawasi serta mengontrol perilaku itu. Psikologi yang kognitifistik yang lazim disebut psikologi kognitif mengaji bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan bahasa.

2.2 Linguistik

Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua ‘bahasa’. Dalam bahasa-bahasa ‘Roman’ masih ada kata-kata serupa dengan lingua latin itu, yaitu langue dan langage dalam bahasa Prancis, dan lingua dalam bahasa Itali. Bahasa Inggris memungut dari bahasa Prancis, kata yang kini menjadi language. Istilah linguistics dalam bahasa Inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa Prancis istilah linguistique berkaitan dengan langage. Dalam bahasa Indonesia, “linguistik” adalah nama bidang ilmu, dan kata sifatnya adalah “linguistis” atau “linguistik”.

Linguistik modern berasal dari sarjana Swiss, Ferdinand de Saussure, yang bukunya Cours de linguistique generale (mata pelajaran linguistik umum) terbit tahun 1916, secara anumerta. De Saussure membedakan langue dan langage. Ia membedakan juga parole (tuturan) dari kedua istilah tadi.

Linguistik diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Linguistik yang mengaji bahasa sangat luas kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa melihat berbagai cabang linguistik, diantaranya menurut objek kajiannya, linguistik terdiri atas 2 cabang yaitu linguistik mikro dan linguistik makro. Menurut tujuan kajiannya, linguistik dibedakan atas dua bidang besar yaitu linguistik teoritis dan linguistik terapan. Selain berdasarkan objek dan tujuan kajiannya dikenal adanya linguistik sejarah dan sejarah linguistik.

Linguistik dalam kaitannya dengan psikologi, lazim diartikan sebagai ilmu yang mencoba mempelajari hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya psikolingustik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan linguistik dianggap sebagai cabang dari psikologi.

2.3 Fisiologi Gembira

Tanda –tanda yang mungkin ditemukan ketika seseorang berada pada kondisi gembira, antara lain sebagai berikut.

· Jantung dan tekanan darah

Detak jantung dan tekanan darah menurun karena tidak ada suplai oksigen berlebihan ke otak dan otot. Berbeda dengan emosi marah di mana detak jantung dan tekanan darah meningkat untuk menyuplai lebih banyak oksigen ke otak dan otot

· Pernapasan

Ketika seseorang bergembira, laju nafas orang tersebut cenderung datar disertai tarikan nafas yang panjang-panjang dan lepas. Berbeda dengan emosi marah yang di mana laju nafas meningkat untuk mengantar lebih banyak darah ke otak dan otot. Napas cenderung pendek- pendek, dada terasa berat karena nafas kerap tertahan dan kerongkongan terasa tegang dan kencang.

· Perubahan vascular atau temperatur kulit

Pembuluh darah di wajah, tangan, dan di bagian tubuh lainnya lentur karena orang yang gembira cenderung rileks. Pembuluh darah berada dalam keadaan normal (tidak terlalu lebar dan sempit) sehingga peredaran darah berjalan dengan lancar. Wajah orang yang gembira selalu tampak berseri-seri dan adem karena pikiran orang tersebut santai tanpa beban. Gerakan tangan dan kaki serta alat-alat gerak lainnya lepas dan bebas.

· Indra yang menajam

Segenap indra (pancaindra) orang yang gembira (indra peraba, penglihatan, penciuman, pendengaran, penciuman, dan pengecap) berada pada posisi rileks. Hal tersebut menyebabkan pancaindra orang yang gembira kurang sensitif (kurang kuat). Hal inilah yang memicu banyak orang yang kalah, terbunuh, dan lain sebagainya karena lengah (sedang bersenang-senang).

· Perubahan kimiawi darah

Perubahan kimiawi darah tidak terjadi ketika seseorang berada pada kondisi gembira. Senyawa kimia, yakni adrenalin dan kortisol yang dilepaskan ke dalam darah untuk memicu respon “ bertarung atau mundur” pada saat seseorang marah, tidak dilepaskan. Sel-sel darah merah yang menjadi lebih “kental” agar lebih mudah membeku, untuk berjaga-jaga seandainya terluka, tidak mengental.

2.4 Proses Kognitif

Proses kognitif merupakan proses pemerolehan pengetahuan dalam kehidupan. Pengetahuan ini dominan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman indriawi. Indriawi artinya proses kognitif melibatkan panca indra kita yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan dan pendengaran, di samping kesadaran dan perasaam. Hasil dari proses kognitif disebut dengan kognisi.

Di dalam proses kognitif, berbagai perasan seperti senang, sedih, atau marah dapat diekspresikan dengan kata – kata.

Aslinya, kompetensi ranah kognitif mencakup kompetensi-kompetensi bawahan yang bersifat hierarkis, yaitu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan mengevaluasi. Akan tetapi, ranah kognitif ini diperbaharui oleh murid-murid B.S. Bloom, Anderson,dkk (Arends,2004 dalam Sudiana, 2006). Taksonomi yang sudah direvisi ini mengandung dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Pengetahuan dibagi lagi atas empat kategori, yaitu pengetahuan factual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Kategori-kategori ini bersifat kontinum, dari yang paling konkret (pengetahuan factual) sampai ke yang paling abstrak (pengetahuan metakognitif). Dimensi proses kognitif dibagi ke dalam enam kategori, yakni mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi. Berdasarkan tingkat kekompleksan proses kognitif, kategori-kategori ini juga berada dalam garis yang bersifat kontinum dari yang paling sederhana (mengingat) sampai yang paling kompleks.

Pengetahuan faktual mencakup elemen-elemen dasar yang perlu diketahui siswa yang berkaitan dengan satu topik. Pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan tentang bagaimana hubungan antara elemen dasar. Pengetahuan procedural merupakan pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri maupun pengetahuan tentang kapan menggunakan pengetahuan konseptual atau pengetahuan prosedural

2.5 Psikolinguistik

Secara etimologi, kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materianya yang berbeda, linguistik mengaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji prilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.

Pada awalnya kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic psycology dan ada juga yang menyebutknya psychology of language. Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954.

Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka, secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikolinguistik pada masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah – masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan, bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.

Kerja sama antara psikologi dan linguistik setelah beberapa lama berlangsung tampaknya belum cukup untuk dapat menerangkan hakikat bahasa seperti tercermin dalam definisi diatas. Bantuan dari ilmu – ilmu lain sangat diperlukan, seperti neurofisiologi, neuropsikologis, neurolinguistik, dan sebagainya. Maka meskipun digunakan istilah psikolonguistik, bukan berarti hanya kedua bidang ilmu itu saja yang diterapkan, tetapi juga hasil penelitian dari ilmu – ilmu lain pun dimanfaatkan.

· Teori Wilhelm Von Humboldt

Wilhem Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota – anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah satu seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu.

Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa subtansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagaian pertama berupa bunyi – bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran – pikiran yang belum terbentuk.

Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk – luar, sedangkan pikiran adalah bentuk – dalam. Bentuk – luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk – dalam bahasa berasa di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang “ membelenggu” manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam ( otak, pemikiran) penutur bahasa itu. Manusia hidup dengan dunia seluruhnya sebagimana bahasa menyuguhkanya atau memberikannya

2.6 Teori Noam Chomsky

Dalam sejarah pertumbuhannya teori Chomsky ini dapat dibagi atas empat fase, yaitu (1) fase generatif transformasi klasik yang bertumpu pada buku Syntactic Structure antara tahun 1957 – 1964; (2) teori standar yang bertumpu pada buku Aspect of the Theory of Syntac antara tahun 1965 – 1966; (3) fase teori standar yang diperluas antara tahun 1967 – 1972; dan (4) fase sesudah teori standar yang diperluas antara 1973 sampai kini, seperti teori penguasaan dan ikatan (government and binding theory) yang berkembang sejak tahun delapan puluhan. Adanya fase-fase itu adalah karena adanya kritik, reaksi, dan saran dari berbagai pihak, dan lebih untuk menyempurnakan teori itu.

Menurut Chomsky untuk dapat menyusun tata bahasa dari suatu bahasa yang masih hidup (masih digunakan dan ada penuntunnya) haruslah ada suatu teori umum mengenai apa yang membentuk tata bahasa itu. Teori umum itu adalah satu teori ilmiah yang disusun berdasarkan satu korpus ujaran yang dihasilkan oleh para bahasawan asli bahasa itu. Dengan korpus ujaran itu dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan umum atau kaidah-kaidah umum tata bahasa yang dapat digunakan untuk memprediksikan semua ujaran (kalimat) yang dapat dihasilkan oleh seorang penutur asli bahasa itu. Begitu pun teori ini harus bisa digunakan untuk menerangkan kalimat-kalimat baru yang bisa dihasilkan oleh seorang penutur pada satu kesempatan yang sesuai. Sedangkan penutur lain dapat memahami a dengan segera, meskipun kalimat itu juga baru bagi mereka (Chomsky 1969:7). Dalam hal ini bisa juga dikatakan kalau kita menguasai suatu bahasa dengan baik, karena kita menjadi penutur bahasa itu, maka kita dapat menghasilkan kalimat-kalimat baru seperti disebutkan diatas yang jumlahnya tidak terbatas. Kalimat-kalimat baru yang jumlahnya tidak terbatas itu tidak mungkin dapat diperoleh dengan teori S – R (stimulus – respons)nya kaum behaviorisme seperti yang dikemukakan oleh Bloomfield karena kita tidak mungkin pernah mendengar kalimat-kalimat baru yang jumlahnya tidak terbatas.

Tampaknya teori Chomsky menyangkut adanya pasangan penutur-pendengar yang ideal didalam sebuah masyarakat tutur yang betul-betul merata dan sama. keduannya, penutur dan pendengar itu, harus mengetahui dan menguasai bahasanya dengan baik. Terjadinya suatu tindak tutur memerlukan adanya interaksi dari berbagai faktor. Dalam hal ini kompetensi atau kecakapan linguistik dari penutur-penutur yang menyokong terjadinya tuturan tadi, hanyalah merupakan satu faktor saja.

Sehubungan dengan hal diatas, Chomsky membedakan adanya kompetensi (kecakapan linguistik) dan performansi (pelaksanaan atau perlakuan linguistik). Seperti sudah dikemukakan pada Bab III subbab 4a) kompetensi adalah pengetahuan penutur-pendengar mengenai bahasanya, sedangkan perfomansi adalah pelaksanaan berbahasa dalam bentuk menerbitkan, kalimat-kalimat dalam keadaan yang nyata. Pada kenyataan yang sebenarnya perlu diingat bahwa pertututran tidaklah betul-betul merupakan respons dari suatu kecakapan, misalnya jika terjadi kesalahan pada awal percakapan, penyimpangan, kaidah tata bahasa atau perubahan yang terjadi di tengah-tengah percakapan.

Menurut Chomsky yang penting bagi seorang linguis adalah menelaah data-data penuturan (yang berupa kalimat-kalimat), kemudian menentukan sistem kaidah yang telah diterima atau dikuasai oleh penutur-pendengar dan yang dipakai dalam penuturan yang sebenarnya. Maka itu, menurut Chomsky teori linguistik itu bersifat mental karena teori ini mencoba menemukan satu realitas mental yang menyokong prilaku bahasa yang sebenarnya terjadi.

Kompetensi atau kecakapan adalah suatu proses generatif, dan bukan “gudang” yang berisi kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat seperti konsep langue dalam teori linguistik De Saussure. Kompetensi merupakan satu sistem kaidah atau rumus yang dapat kita sebut tata bahasa dari bahasa penutur itu.

Tata bahasa suatu bahasa adalah uraian (deskripsi) kompetensi penutur-pendengar yang ideal, dan uraian ini harus mampu memberi uraian struktur tiap-tiap kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, serta dapat menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat ini dipahami oleh penutur-pendengar yang ideal itu. Dilihat dari segi semantik tata bahasa suatu bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi (bahasa) dan makna (bahasa) dalam bahasa itu. Dilihat dari segi daya kreativitas, tata bahasa adalah sebuah alat perancang yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu. Alat perancangan inilah yang diberi nama “tata bahasa generatif” oleh Chomsky, untuk membedakan dari pernyataan deskriptif yang hanya menggunakan sekumpulan unsur yang muncul dalam uraian-uraian struktur yang konteksnya sangat beragam. Tata bahasa generatif sebagai alat perancangan ini merupakan satu sistem rumus yang tepat dan jelas yang dapat digunakan dalam gabungan baru yang belum pernah dicoba untuk membentuk kalimat-kalimat baru. Rumus-rumus ini dapat juga digunakan untuk struktur dan bentuk fonetik kalimat ini, dan menunjuk penafsiran-penafsiran semantik kalimat-kalimat baru (yang baru kita dengar), serta menolak urutan struktur yang bukan milik “bahasa itu”.

Menurut Chomsky perkembangan teori linguistik dan psikologi yang sangat penting dan perlu diingat dalam pengajaran bahasa adalah sebagai berikut.

1. Aspek kreatif penggunaan bahasa

2. Keabstrakan lambang-lambang linguistik

3. Keuniversalan struktur dasar linguistik

4. Peranan organisasi intelek nurani (struktur-dalam) di dalam proses kognitif/mental.

Yang dimaksud dengan aspek kreatif adalah perilaku linguistik yang biasa, bebas dari rangsangan, bersifat mencipta dan inovatif. Tiap kalimat merupakan karya baru dari dari kompetensi, dan bukan hasil cungkilan oleh rangsangan. Ulangan dari frase-frase pendek jarang terjadi. Hanya dalam hal-hal yang istimewa saja konteks keadaan menentukan kalimat yang akan dikeluarkan. Misalnya, dalam konteks perjumpaan di pagi hari melahirkan kalimat, "selamat pagi". Andaikata ada kalimat yang serupa dengan kalimat yang sudah ada dalam korpus data, maka hal itu adalah karena kebetulan saja. Kalimat-kalimat yang baru itu masing-masing adalah kalimat baru yang kebutulan sama dengan kalimat lain. Kalimat-kalimat yang sama bukanlah hasil cungkilan rangsangan yang keluar sebagai tabiat atau kebiasaan dengan cara mekanis karena kalimat itu sudah pernah didengar dan dilatihkan dulu pada waktu mempelajari bahasa itu.

Seorang penutur bahasa-ibu suatu bahasa sudah menuranikan satu tata bahasa generatif secara tidak sadar, dan tanpa disadari dia telah menguasai segala "milik" tata bahasa itu. Jadi, tugas linguis adalah menemukan dan menerangkan "milik-milik" tata bahasa yang tidak disadarinya.

Yang dimaksud dengan keabstrakan lambang-lambang linguistik adalah bahwa rumus-rumus atau kaidah-kaidah yang menentukan bentuk-bentuk kalimat dan penafsiran artinya yang rumit bukan merupakan sesuatu yang konkret melainkan merupakan sesuatu yang abstrak. Struktur-struktur yang telah dimanipulasi dihubungkan dengan fakta-fakta fisik dengan cara yang jauh sekali, baik dalam ataran fonologi, sintaksis, maupun semantic. Karena prinsip-prinsip yang bekerja dalam tata bahasa generatif transformasi ini, dan struktur-struktur yang dimanipulasinya tidak ada hubungan dengan fenomena-fenomena indra tertentu menurut hukum-hukum teori psikologi empiris maupun behavioris.

Yang dimaksudkan dengan keuniversalan linguistik dasar adalah prinsip-prinsip abstrak yang mendasari tata bahasa generatif transformasi ini, dan yang tidak dapat diperoleh melalui pengalaman dan latihan. Oleh karena prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan tidak bisa diperoleh melalui pengalaman dan latihan, maka berarti prinsip-prinsip ini bersifat universal. Jadi, prinsip-prinsip yang mendasari setiap tata bahasa generatif transformasi bersifat universal. Maka itu, menurut Chomsky masalah utama linguistik adalah hal-hal yang universal dari linguistik itu.

Menurut Chomsky keuniversalan linguistik ini dimiliki manusia sejak lahir karena merupakan unsur atau struktur-struktur yang tidak terpisahkan dari manusia semuanya bisa diterangkan berdasarkan peranan organisasi intelek nurani.

Masalah organisasi intelek nurani di dalam proses kognitif umumnya, dan di dalam pemerolehan bahasa khususnya, merupakan perkembangan baru yang sangat penting terutama dalam psikolinguistik. Prinsip-prinsip dasar organisasi linguistik adalah keuniversalan linguitik yang oleh Chomsky kemudian disebut tata bahasa universal. Tata bahasa merupakan satu sistem yang merupakan bagian dari organisasi intelek nurani yang bersifat universal. Tata bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa, dan peranan ini sama dengan peranan yang dimainkan tata bahasa generatif transformasi, misalnya, di dalam pengenalan bentuk-bentuk fonetik sebuah kalimat karena rumus-rumus tata bahasa itu digunakan dalam analisis sintaksis kalimat itu untuk mengenal isyarat-isyarat fonetik itu.

BAB III

PEMBAHASAN

Guna memberikan informasi yang lebih mendalam, pada bagian pembahasan ini, penulis akan memberikan penjelasan terkait identitas orang yang dijadikan objek penelitian. Tentu pemaparan identitas objek penelitian ini akan berdampak positif pada pembahasan mengenai gejala yang dapat dirunut berkaitan dengan psikolinguistik gembira, aspek linguistik psikolinguistik gembira, aspek nonlinguistik psikolinguistik gembira, aspek pikiran psikolinguistik gembira, dan penyebab psikolinguistik gembira.

Identitas objek penelitian ini dipaparkan pada penjelasan di bawah ini.

1. Percakapan Pertama

¤ Identitas Pelaku Tutur

Nama : I Putu Sudarma

Usia : 22 tahun

Status : Mahasiswa

Asal : Banjar Putung, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem

Nama : I Wayan Pariawan

Usia : 20 tahun

Status : Mahasiswa

Asal : Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung

2. Percakapan Kedua

¤ Identitas Pelaku Tutur

Nama : I Wayan Rapi

Usia : 19 tahun

Status : pekerja bengkel

Asal : Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung

Nama : I Wayan Pariawan

Usia : 20 tahun

Status : Mahasiswa

Asal : Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung

3. Percakapan Ketiga

¤ Identitas Pelaku Tutur

Nama : Ni Wayan Wulandari

Usia : 14 tahun

Profesi : Siswa SMP

Asal : Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung

Nama : Ni Kadek Wulan Dewi

Usia : 13 tahun

Status : siswa SMP

Asal : Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung

4. Percakapan Keempat

¤ Identitas Pelaku Tutur

Nama : Luh Made Dwi Antari

Usia : 19 tahun

Profesi : Mahasiswa

Asal : Jalan Nusa Indah no.17, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng

Nama : I Wayan Pariawan

Usia : 20 tahun

Status : Mahasiswa

Asal : Banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung

3.1. Gejala yang dapat Dirunut dari Psikolinguistik Gembira

Gejala yang dapat dirunut dari psikolinguitik gembira, antara objek yang satu dan objek yang lain berbeda. Dari pengamatan yang penulis lakukan, gejala yang dapat dirunut dari objek diatas adalah sebagai berikut.

1) Objek pertama (I Putu Sudarma) pada percakapan pertama menunjukkan sikap senangnya dengan mengepalkan kedua buah tangannya sambil keras-keras menyerukan letupan “yes!” Pada saat mengungkapkan ucapan yes tersebut, Putu juga memeluk tubuh Pari dan menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya tersebut.

2) Objek kedua menunjukkan sikap gembiranya dengan menganggukkan kepala sembari menyerukan ujaran “em”. Tindakan ini tentu berkenaan dengan pikiran atau gambaran mental Rapi. Ia mengangguk untuk meyakinkan pewawancara bahwa ia sepakat atas ajakan tersebut.

3) Objek ketiga menunjukkan sikap gembiranya dengan menunjukkan tanda – tanda kegembiraan pada lawan bicaranya. Ni Kadek Wulan Dewi, berusaha memuji kebaikan kakaknya yang nota bene membuatnya bahagia. Disamping itu ia juga meninggikan volume suara dan berlari menuju tempat kolak sawi tersebut berada.

4) Objek keempat (Luh Made Dwi Antari) menunjukkan sikap gembiranya dengan bernyanyi dan semangat mencuci pakaian kotor yang tersisa. Secara jelas aktivitas Luh Made Dwi Antari menunjukkan tanda– tanda kegembiraan atas situasi yang dialaminya.

3.2. Aspek Linguistik dari Psikolinguistik Gembira

¤ Dialog Percakapan 1

¤ Berlangsung pada Senin, 7 Oktober 2008, di Jalan Wijaya Kusuma V, no.11x, kabupaten Buleleng.

Pari : “Manis pohe Tu ?”

Sudarma : “Manis.”

Pari : “Jaen?”

Sudarma : “Lumayan.”

Pari : “Kuning-kuning sajan warnane e?”

Sudarma : “Ae, Rik. Neh-neh makan malu nyanan telah rebute jak timpal-timpale!”

Pari : “Gratis, Tu?”

Sudarma : “Gratis.”

Pari : “Seken nenenang?” “Sing ada saratne, Tu?”

Sudarma : “He…ada.” “Traktir raga maen play stasion nah!”

Pari : “Beh..sante gen Bli, tapi yang bang poh anu paling gede nah!”

Sudarma : “Yes..maan traktiran ne.” (pada saat menyerukan letupan kegembiraan ini, Putu Sudarma mengepalkan tangannya dan menariknya ke bawah)

¤ Dialog Percakapan 2

¤ Berlangsung pada Sabtu, 15 Oktober 2008 di Br. Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kab. Klungkung

Rapi : “Ri, raga nyesel ajan cenik-cenik be nganten. Raga lek sajan jak bapak memek cang.”

Pari : “Men kenkenang Pi, be kadung to. Jeg jalanin gen. Makejang pasti ada hikmahne.”

Rapi : “Ci aluh ngorin gen, Ri. Coba ci dadi cang pasti kal stres. Cang sing taen tenang masomah, penghasilan cange nu pas-pasan sajan.”

Pari : “Sabar, Pi!”

Rapi : “Kesabaran cang be telah. Cang makita ngalain keluarga ragae ka Jawa. Cang sing tahan, Ri.”

Pari : “Ssssttt, ngawag-ngawag ci ngomomg.” “Mai ajake malali ke pasih pang pikiran cine tenang!”

Rapi : “Em..luung ide cie.” (Rapi mengucapkan kata-kata ini sambil tersenyum).

¤ Dialog Percakapan 3

¤ Percakapan ini berlangsung pada Minggu, 16 Oktober 2008 di banjar Sebunibus, Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kab. Klungkung

Wulan : “Ampun tengai ne, May. Yen nyanan mahe kambuh Mbok ink nyak nulungin nah.”

Yusna : “Nggih, Mbok. Antos binjeb, Yusna nu nyabunang lima di kamar mandi.”

Wulan : “Enggalin bedik, Yusna jegeg!”

Yusna : “Adi enggal-enggal, Mbok?”

Wulan : “Beliange kolek sawi ajak Mbok Wulan, kone Yusna suba duang bulan sing ngajeng kolek.”

Yusna : “Aduh pengertian sajan Mbok Wulan, nggih jani Yusna ke paon.” (Yusna cepat-cepat berjalan setengah berlari ke dapur karena saking senangnya dibelikan kolak sawi)

¤ Dialog Percakapan 4

¤ Percakapan ini berlangsung pada Jumat, 31 Oktober 2008 di Jalan Nusa Indah no.17, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng

Pari : “Be kenjel manting, Wik geg?”

Dwik : “Durung lima manit. Kenken seh?”

Pari : “Ampun kenjel? Benjep yen be kenjel jeritin aku nah!”

Dwik : “Nggih, nyanan yen be dasa baju telah kasikatin, jeritina ye.”

Pari : “Nah, aku kal melut poh dumun anggon amik-amikan.”

Dwik : “Ye, kebetulan Wik dot sajan ajak poh, mu nae enggalan dik pelut, Wik men anu manting makejang bajune ne.” (karena saking senangnya sang pacar mau mengupaskan mangga, Luh Made Dwi Antari dengan penuh semangat mencuci baju yang tersisa sambil bernyanyi)

Aspek linguistik dalam spesifikasi psikolinguistik gembira pada masing- masing objek dalam segenap percakapan di atas, yakni sebagai berikut.

1) Objek pertama (I Putu Sudarma) yang penulis teliti becermin dari percakapan pertama, mengujarkan : “Yes..maan traktiran ne.”. Ujaran ini merupakan wujud dari rasa senangnya ditraktir bermain play stasion.

2) Kata-kata yang diucapkan oleh objek kedua (I Wayan Rapi) menanggapi ajakan Pari, bila disimak secara saksama merupakan wujud rasa senangnya terhadap ajakan tersebut. Walaupun tidak secara langsung Rapi menyatakan rasa senangnya atas tawaran tersebut, ujaran “Em lung ide cie” dapat berarti dia bahagia dan gembira menanggapi ajakan tersebut.

3) Kata-kata yang diucapkan oleh objek ketiga (Ni Kadek Yusna Dewi) jelas sarat akan perasaan senang. “Aduh pengertian sajan Mbok Wulan,, nggih jani Yusna ke paon,” merupakan ujaran gembira tersebut. “Aduh pengertian sajan Mbok Wulan,” menunjukkan bahwa Ni Kadek Yusna Dewi gembira atas kebaikan kakaknya. Meskipun tidak secara gamblang Ni Kadek Yusna Dewi mengujarkan perasaan senangnya, kata-kata tersebut sudah sangat cukup mewakili luapan kegembiraannya.

4) Objek keempat (Ni Made Dwi Antari) menawarkan diri bekerja lebih sebagai ungkapan kegembiraannya. Ujaran gembira tersebut sebagai berikut “Ye, kebetulan Wik dot sajan ajak poh, mu nae enggalan dik pelut, Wik men anu manting makejang bajune ne.” Terdapat perasaan gembira yang luar biasa pada diri Ni Made Dwi Antari terkait tawaran mangga yang diberikan oleh Pari, karena lelaki tersebut adalah teman baiknya. Karena saking senangnya, Dwi Antari bersedia bekerja keras (mencuci lebih banyak) dan mengizinkan teman dekatnya tidak ikut mencuci kostum pementasan teater yang kotor dan bau keringat.

3.3. Aspek Nonlinguistik Psikolinguistik Gembira

Aspek nonlinguistik dalam spesifikasi psikolinguistik gembira pada masing-masing objek dalam percakapan penelitia ini, yakni sebagai berikut.

(1) Tingkah laku objek pertama (I Putu Sudarma) yang dapat diamati pada saat ia gembira yakni pada saat menyerukan letupan kegembiraan, Putu Sudarma mengepalkan tangannya dan menariknya ke bawah. Ia juga memeluk tubuh Pari dan menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya tersebut sebagai wujud kegembiraannya. Putu Sudarma tanpa menunggu permintaan Pari langsung memberikan sebutir mangga paling besar dan molek kepada Pari.

(2) Tingkah laku objek kedua (I Wayan Rapi) yang dapat penulis amati pada saat gembira, yakni ia menganggukkan kepala sebagai wujud persetujuannya atas ajakan Pari sembari tersenyum. Rapi juga memegang tangan Pari yang menurut penulis dilakukan secara tidak sengaja. Tentunya gerakan kinestetik di bawah sadar ini merupakan indikasi bahwa Rapi memang gembira dengan tulus dan iklas.

(3) Tingkah laku objek ketiga (Ni Kadek Yusna Dewi) yang tertangkap oleh penulis pada saat ia bergembira yakni berjalan setengah berlari ke dapur karena saking senangnya dibelikan kolak sawi. Disamping itu ia juga meninggikan volume suara sambil menari–nari menuju dapur. (Gerakan tarian ini penulis pikir dilakukan dengan sangat reflex mengingat sepengetahuan penulis, gadis tersebut bukan seorang penari)

(4) Tingkah laku objek keempat (NI Made Dwi Antari) yang dapat penulis amati pada saat ia gembira, yakni Dwik mengernyitkan alisnya pada Pari, teman dekatnya. Ia bernyanyi agar lebih santai mencuci. Ia juga tampak lebih semangat menggosok-gosokkan sikat cuciannya pada baju kotor yang ia cuci.

3.4. Aspek Pikiran dari Psikolinguistik Gembira

Aspek pikiran dalam spesifikasi psikolinguistik gembira pada masing-masing objek yang dapat diamati penulis, sebagai berikut.

(1) Aspek pikiran yang membuat objek pertama (I Putu Sudarma) gembira adalah

rasa gembira karena ditraktir bermain play stasion oleh Pari.

(2) Aspek pikiran yang membuat objek kedua (I Wayan Rapi) gembira adalah rasa salut atas perhatian dan kesetian sahabatnya menemaninya di saat ia sedang mengalami kebimbangan menjalani kehidupan rumah tangga.

(3) Aspek pikiran yang membuat objek ketiga (Ni Kadek Yusna Dewi) gembira adalah rasa haru yang mendalam atas perhatian kakaknya. Yusna merasa kakaknya begitu perhatian atas keinginannya menikmati kolak sawi. Ia merasa senang karena kakaknya yang pendiam tiba-tiba, tanpa terduga membelikannya kolak sawi.

(4) Aspek pikiran yang membuat objek keempat (Ni Made Dwi Antari) gembira adalah perasaan haru karena sahabatnya begitu memperhatikannya. Orang yang ia anggap sebagai sahabat sekaligus kakak menawarinya mangga. Dwik sangat suka makan mangga. Hal yang membuat Dwik begitu gembira adalah kenyataan bahwa teman dekatnya memang benar-benar memberikannya potongan mangga manalagi yang ia kupas dengan tangannya sendiri.

3.5. Penyebab Psikoliguistik Gembira

Jika seseorang mengalami suatu kegembiraan, tentu didahului oleh stimulus (rangsangan) yang membuat orang tersebut gembira. Ada sebab, tentu ada akibat. Stimulus yang mengakibatkan seseorang gembira, ditimbulkan oleh faktor luar dan faktor dalam. Berikut ini akan dipaparkan penyebab dari psikolinguistik gembira pada masing-masing objek.

(1) Kegembiraan objek pertama disebabkan oleh kenyataan yang membuat ia dapt bermain play stasion secara cuma-cuma (gratis).

(2) Kegembiraan objek kedua disebabkan oleh perhatian dan rasa persahabatab yang ditunjukkan oleh Pari. Ia merasa terhibur karena Pari mengajaknya ke pantai untuk menangkan diri dari persoalan rumah tangganya.

(3) Kegembiraan objek ketiga disebabkan oleh kenyataan yang membuatnya dapat menikmati kolak sawi, makanan yang sangat ia sukai. Di samping itu ia sangat gembira karena kakak dan segenap keluarganya begitu mencintainya, memperhatikannya.

(4) Kegembiraan objek keempat disebabkan oleh kenyataan bahwa ada orang yang sangat mengerti dan memahami kondisinya pada saat kesusahan (mencuci). Kegembiraannya menjadi berlipat-lipat karena orang yang begitu memperhatikannya adalah teman dekatnya sendiri.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada BAB III, penulis dapat menarik beberapa simpulan berikut ini.

1. Fenomena linguistik seseorang yang sedang gembira ditandai dengan kata-kata seruan (yes, oke, wah, dan lain sebagainya) yang menonjol di samping pengucapan kata-kata yang ceria, lucu, lelucon, dan agresif.

2. Fenomena nonlinguistik orang senang terlihat dari perilakunya yang ”over acting” terkadang konyol, cuek bahkan tidak tahu malu (memeluk, meloncat-loncat, mengernyitkan alis, dan lain sebaginya)

3. Aspek linguistik orang senang akan tercermin dari kata-kata yang terlontar pada saat dia bertemu dengan orang lain agar orang lain tahu kalau dia sedang senang.

4. Aspek pikiran meninjau lebih jauh penyebab dari kesenangan seseorang, Sesuatu yang orang tersebu pikirkan sehingga menyababkan senang.

5. Penyebab dari psikolinguistik senang adalah sesuatu yang membuat oarang tersrbu senang bisa berupa materi, penghargaan ataupun pacar.Intinya segala sesuatu yang melatari kegembiraan seseorang .

4.2 Saran

Berdasarkan simpulan pada Bab Penutu ini, penulis berharap segenap orang yang membaca penelitian sederhan ini dapat mengkritisi materi-materi yang tersaji. Penulis menyarankan pembaca membaca referensi-referensi terkait permasalahan yang tersaji dalam penelitian ini. Jika memang tulisan dalam penelitian ini salah atau menyimpang dari koridor keilmuan yang berlaku, penulis sangat mengaharapkan dan menyarankan pembaca memberikan kritisi yang konstruktif.

Tidak ada komentar: