SELAMAT DATANG DI SULUH PENDIDIKAN

Cahaya untuk Dunia Pendidikan Indonesia yang Lebih Baik

Jumat, 05 Desember 2008

PERKEMBANGAN BAHASA REMAJA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat erupakan the best of time and the worst of time.

Kita menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja :

* Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.

* Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa pembentukan sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.

* G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang (badai dan topan).

Para ahli umumnya sepakat bahwa rentangan masa remaja berlangsung dari usia 11-13 tahun sampai dengan 18-20 th (Abin Syamsuddin, 2003). Pada rentangan periode ini terdapat beberapa indikator perbedaan yang signifikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, para ahli mengklasikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian yaitu: (1) remaja awal (11-13 th s.d. 14-15 th); dan (2) remaja akhir (14-16 th s.d.18-20 th).

Masa remaja ditandai dengan adanya berbagai perubahan, baik secara fisik maupun psikis, yang mungkin saja dapat menimbulkan problema tertentu bagi si remaja. pabila tidak disertai dengan upaya pemahaman diri dan pengarahan diri secara tepat, bahkan dapat menjurus pada berbagai tindakan kenakalan remaja dan kriminal.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang disampaikan di atas, maka permasalahn yang muncul.

1. Bagaimana perkembangan bahasa pada remaja?

2. Bagaimana karakteristik bahasa yang digunakan?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang disampaikan, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai tujuan penulisan makalah sebagai berikut.

1. Mengetahui perkembangan bahasa pada remaja.

2. Mengetahui karakteristik bahasa yang digunakan.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 PENGERTIAN REMAJA

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).

Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).

Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial.

2.2 ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PADA MASA REMAJA

1. Perkembangan Fisik

Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

2. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).

3. Perkembangan kepribadian dan sosial

Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

BAB III

PERKEMBANGAN BAHASA REMAJA

3.1 CIRI BAHASA REMAJA

Ragam bahasa remaja memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek seperti ‘permainan diganti degan mainan, pekerjaan diganti dengan kerjaan.

Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Kita bisa mendengar bagaimana bahasa remaja ini dibuat begitu singkat tetapi sangat komunikatif.

3.2 PERAN BAHASA REMAJA

Dalam berkomunikasi sehari-hari, terutama dengan sesame sebayanya, remaja seringkali menggunakan bahasa spesifik yang kita kenal dengan bahasa “gaul”. Disamping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini terkadang hanya dimengerti oleh para remaja atau mereka yang kerap menggunakannya.

Kita semua secara sadar maupun tidak sadar pernah mengamati bagaimana kaum remaja menjawab pertanyaan yang diberikan oleh para orang lain mengenai sebuah acara remaja. Kira-kira beginilah :

1) "Emm, pokoknya acara asyik banget, band-band yang tampil keren banget, musiknya OK, ya pokoknya te-o-pe deh!"

2) "Gila, acaranya keren banget gitu, lho! Aduh pokoknya keren deh... Pokoknya yang nggak dateng nyesel aja!!"

3) "Wah, pokoknya gua salut lah sama panitianya. Acaranya keren abis, booo!!"

Lalu bagaimana kalau dimintai komentar, misalnya tentang seorang artis favoritnya, katakanlah Jennifer Lopez?

1. "Wah Jennifer Lopez itu top banget, gitu lho! Bodinya seksi, suaranya bagus, cantik banget, aduh pokoknya keren deh!"

2. "Iya, gua demen banget sama J-Lo. Dia tuh udah seksi, jago nyanyi, udah gitu jago nge-dance lagi! Wah, tipe gua banget, tuh!"

3. "Gua suka J-Lo.... karena apa ya? Ya karena dia keren aja, gitu!!!"

Dengan kondisi seperti ini, wajarlah kiranya jika para siswa sekolah jauh lebih memilih mengerjakan soal-soal pilihan ganda daripada esai. Masalahnya jelas : mereka tidak mampu menyampaikan maksudnya dengan baik ; dengan cukup jernih sehingga bisa dimengerti oleh orang lain. Kalau cuma sekedar bilang "si A keren", "acara ini bagus", "desainnya ciamik" dan sebagainya, siapa pun bisa melakukannya. Tapi tidak ada yang mengerti maksud pembicaraannya sebenarnya. Keren seperti apa? Mengapa ia dibilang keren? Apa yang membuatnya merasa ia lebih keren daripada yang lain? Tidak ada secuil pun informasi!

Selain itu ada beberapa contoh kalimat yang sering kita dengar dalm kehidupan sehari-hari.

“Kamu anak baru, ya?”

‘Iya.”

“Jurusan apa?”

“Komunikasi.”

“Pantesan cantik.”

“Makasih.”

“Eh, mau ini?”

“Apa tuh? Obat, ya?”

“Iya, kalau mau ambil aja.”

Gaya berbahasa berkaitan erat dengan bahan bacaannya. Kalau yang dibaca remaja selalu masalah-masalah percintaan yang beraliran gombalisme, maka tidak heran jika pikiran mereka pun tidak terbiasa dengan hal-hal lain yang sebenarnya sangat penting. Jika pikirannya hanya disibukkan oleh hal-hal semacam itu, maka jangan heran jika mereka cenderung menghindar dari pembicaraan-pembicaraan serius (dan tentu juga tulisan-tulisan yang serius).

Bahasa remaja yang digunakan oleh kalangan remaja saja. Penggunaan bahasa remaja ini memiliki fungsi yang strategis bagi kehidupan mereka. Dengan menggunakan bahasa remaja, mereka merasa sebagai orang yang bisa dan masuk dalam komunitas mereka.

Dalam kesehariaanya, bahasa remaja dugunakan sebagai penghubung antarmereka. Dengan bahasa remaja yang sifatnya dinamis, remaja merasa memiliki kebebasan untuk mengepresikan kehidupan mereka.

3.3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN BAHASA REMAJA

Menurut Piaaget (dalam Papalia, 2004), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia. Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya.

Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks. Menurut Owen (dalam Papalia, 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metaphor, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul.

Disamping merupakan bagian dari proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (1968), remajamemasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominant terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas. Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa gaul ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.

Bahasa remaja atau yang dikenal bahasa gaul, berkembang melalui tayangan berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Media-media tersebut menyebarkan berbagai program remaja yang kecendrungannya menggunakan bahasa remaja sebagai pengantarnya.

Di dalam tayangan televis, program yang ditayangkan, seperti sinetron remaja menggunakan bahasa remaja. Melalui media ini, informasi mengenai bhasa remaja yang ada di kota Jakarta, dapat menyebar sampai ke pelosok-pelosok desa. Dengan perkembangan teknologi informasi yang luas, bahasa remaja tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat khususnya remaja di daerah perkotaan.

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).

3.4 MAKNA BAHASA REMAJA

a. Gaul, dong!

Dalam konteks sosial pergaulan remaja, gaul bukanlah sekedar kata. Melainkan sudah menjadi semacam istilah atau ungkapan yang ruang lingkupnya menyentuh berbagai perilaku atau gaya hidup remaja. Sayangnya, istilah atau.ungkapan itu cenderung bertentangan dengan nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, berpacaran dengan ngeseks-nya, minum minuman keras (ngedrink), menggunakan obat terlarang (ngedrugs), berjudi (ngegambling) atau yang lainnya dianggap gaul. Begitu pula dengan kebiasaan nongkrong, ngeceng, atau yang jainnya. Lebih tegasnya, makna gaul lebih berkonotasi negatif. Kata gaul yang sudah menggejala bahkan membudaya itu, disadari atau tidaK memiliki makna psikologis yang relatif cukup kuat pengaruhnya dalam komunitas pergaulan remaja. Akibatnya karena ingin disebut gaul, tidak sedikit diantara remaja yang ikut-ikutan untuk segera memiliki pacar, ngedrink; nyimenk, ngedrugs, atau yang lainnya termasuk nongkrong atau ngecengnya. Entah di pinggiran jaian, di mal-mal, di tempat-tempat hiburan, dan lain sebagainya. Istilah mereka : Gaul dooong

b. Pede aja, lagi!

Pede (PD) adalah bahasa gaul yang mengungkapkan perlunya seseorang u.ntuk percaya diri. Namun ironisnya, himbauan, saran, atau perlunya seorang untuk bersikap “percaya diri1 ini juga cenderung tidak dibatasi oleh norma-norma tadi, Misalnya seorang gadis berok mini dan berbaju you can see disarankan untuk pede (baca : percaya diri) dengan pakaiannya itu. Bahkan bisa jadi si gadis memang merasa lebih pede dengan model pakaian demikian. Pede aja lagi ! Begitulah bahasa mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan perlunya seseorang untuk bersikap pede namun tetap normlessness seperti tadi. Sebab ukuran pede yang seharusnya berlandaskan pada keluhuran nilai-nilai moral dan agama, terkikis oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kebendaan. Contoh lainnya, seseorang merasa pede hanya lantaran kecantikan atau ketampanan wajahnya semata, pede hanya jika ke sekolah atau ke kampus membawa motor atau mobil, pede cuma karena mengandalkan status sosial keluarga, dan masih banyak kasus yang lain, Sedangkan merasa pede setelah memakal deodoran di ketiak, itu sih, tidak menjadi masalah. Daripada bauket dan mengganggu orang lain ? Ukuran pede seperti itu, jelas nggak bermutu, selain juga keliru. Pasalnya, pemahaman pede harus lebih ditempatkan dalam ukuran atau standarisasi nilai-nilai ahlak. Bukan karena landasan fisik dan kebendaan semata.

c. Kasihan deh, Lo!

Ungkapan ini juga termasuk bahasa gaul yang masih cenderung normless. Sebab ungkapan tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak tepat. Sebagai contoh, seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren tertentu dianggap : Kasihan deh, Lo!. Begitu pula dengan remaja yang membatasi diri dari perilaku lainnya yang sesungguhnya memang perlu/harus dihindari karena tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma agama (Islam). Misalnya karena.tidak pernah turun ke diskotek lengkap dengan ngedrink atau ngec/njgsnya, ataupun perilaku negatif lain yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Bisa juga ungkapan “Kasihan deh, Lu” ini tertuju pada remaja yang sama sekali tidak mengetahui berbagai informasi yang memang sesungguhnya juga tidak perlu untuk diketahui. Seperti tidak mengetahui siapa sajakah personil bintang Meteor Garden yang tergabung dalam f4"itu ? Siapa pula Delon itu? Atau yang lainnya

d. Nyantai aja, Coy!

Kekeliruan lain yang juga menggejala dalam bahasa gaul remaja adalah ungkapan : Nyantai aja, Coy ! Tentu tidak masalah dalam kondisi tertentu kita nyantai, lebih tepatnya adalah bersantai atau istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Namun yang menjadi masalah apabila Nyantai aja, Coy disini konteksnya mirip dengan lagu iklan Silver Queen : mumpung kiitaa masih muda, santai saja Ingat kan ? Nyantai aja, Coy ! yang dilontarkan sebagian remaja seringkali bermakna ketidakpedulian terhadap kemajuan atau prestasi diri. Sebagai contoh, seorang remaja mengatakan, Nyantai aja, Coy ! kepada temannya, karena temannya itu terlihat gelisah lantaran belum belajar untuk persiapan ujian besok pagi, Nyantai aja, Coy ! terkadang bisa pula menunjukkan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial atau orang lain. Misalnya, seorang remaja putri sedang asyik ngobrol di telepon umum sementara banyak orang antri menunggu giliran. Ketika salah seorang yang antri menegurnya, ia malah menjawab Nyantai aja, Coy ! Jika mau dicermati tentu masih banyak ungkapan : Nyantai aja, Coy ! yang sering dilontarkan para remaja namun tidak sesuai dengan konteksnya bahkan menafikan keluhuran nilai-nilai akhlak, Repotnya, apabila mereka dinasihati untuk men}auhi berbagai perilaku yang tidak baik, termasuk dalam menggunakan ungkapan yang tidak tepat (karena tidak sesuai dengan konteksnya), maka dengan mudahnya mereka malah berbalik mengatakan, Nyantai aja, Coy !

BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Banyak factor yang mempengaruhi perkembangan bahasa. Bahasa remaja berkembang karena luasnya media informasi yang beredar di masyarakat. Masyarakat kita khususnya remaja, menggunakan bahasa gaul atau bahasa remaja ini hanya untuk kalangan mereka. Penggunaan ini bertujuan untuk menyatakan bahwa kehadiran mereka memang ada dalam komunitas remaja.

Kita sebagai masyarakat bahasa, tidak mungkin bisa mengenyampingkan kehadiran bahasa remaja di masyarakat. Kita hanya mampu mengusahakan perkembangan bahasa remaja ini ke arah yang positif.

3.2 SARAN

“Setinggi-tingginya langit, masih ada langit yang lebih tinggi lagi”. Pepatah tersebut setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa pengetahuan itu tidak ada batasnya, semakin digali maka semakin banyak yang tidak kita temukan. Bertolak dari hal tersebut maka penulis menyarankan kepada para pembaca agar tidak puas hanya dengan materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Gunakanlah buku-buku referensi yang setidaknya bisa membantu dalam pemahaman anda.



OLEH

I WAYAN PARIAWAN


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2008

MENILAI KUALITAS TES

Baik buruknya suatu tes atau alat evaluasi dapat kita tinjau dari beberapa segi, yaitu:

1). Validitas.

2). Reliabilitas.

3). Tingkat kesukaran.

4). Daya beda.

Di bawah ini akan kami uraikan lebih lanjut tentang keempat faktor tersebut.


1. VALIDITAS SUATU TES

Suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya barometer adalah suatu alat yang valid untuk mengukur tekanan udara. Tetapi alat ini tidak valid untuk mengukur suhu. Demikian pula dalam alat-alat evaluasi. Suatu tes hasil belajar dapat dikatakan tes yang valid apabila tes tersebut betul-betul dapat mengukur hasil belajar. Jadi, bukan sekedar mengukur daya ingatan atau kemampuan bahasa saja misalnya.

Validitas suatu tes dapat ditinjau dari beberapa segi, seperti yang akan kami uraikan di bawah ini.

a. Validitas ramalan (Predictive validity)

Validitas ramalan artinya ketetapan (kejituan) dari pada suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan tes tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapainya kemudian. Misalnya suatu tes hasil belajar dapat dikatakan mempunyai validitas ramalan yang tinggi, apabila hasil yang dicapai oleh anak dalam tes tersebut betul-betul dapat meramalkan sukses tidaknya anak-anak dalam pelajaran-pelajaran yang akan datang. Cara yang dipergunakan untuk menilai tinggi rendahnya validitas ramalan ini ialah dengan jalan mencari korelasi antara nilai-nilai yang dicapai oleh anak-anak dalam tes tersebut dengan nilai-nilai yang dicapainya kemudian.

Apabila koefisien korelasi yang diperoleh cukup tinggi, maka berarti validitas ramalan tersebut tinggi. Sebaliknya pula apabila koefisien korelasi yang dipergunakan rendah, maka berarti pula ramalan tes tersebut rendah.

b. Validitas bandingan (Concurent-validity)

Validitas bandingan artinya kejituan daripada suatu tes dilihat korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat kini secara riil. Perbedaan antara validitas ramalan dengan validitas bandingan ialah dilihat dari segi waktunya. Validitas ramalan melihat hubungannya dengan masa yang akan datang, sedangkan validitas bandingan melihat hubungannya dengan masa sekarang. Seperti juga dijelaskan oleh Wrightstone bahwa ”The difference between concurent validity and predictive validity is solely a matter of time. Predictive validity requires correspondence with a future criterion where as concurent validity requires correspondence with the criterion at the time of testing” (Wrightstone, 1961 hal.44).

Cara yang dipergunakan untuk menilai validitas bandingan ialah dengan jalan mengkorelasikan hasil-hasil yang dicapai dalam tes yang sejenis yang telah diketahui mempunyai validitas tinggi (misalnya tes standar). Tinggi rendahnya koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan tinggi rendahnya validitas tes yang akan kita nilai kualitasnya.

c. Validitas isi (Content validity)

Validitas isi artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut. Suatu tes hasil belajar dapat dikatakan valid, apabila materi tes tersebut betul-betul merupakan bahan-bahan yang representatif terhadap bahan-bahan pelajaran yang diberikan. Misalnya apabila kita ingin memberikan tes bahas Inggris kepada anak-anak kelas II, maka item-itemnya harus diambila dari pelajaran kelas II. Kalau di dalamnya kita selipkan item-item yang diambil dari bahan-bahan pelajaran kelas III maka tes tersebut sudah tidak valid lagi.

Untuk menilai apakah suatu tes memiliki validitas isi atau tidak dapat kita lakukan dengan jaln membandingkan materi tes tersebut dengan analisa rasional yang kita lakukan terhadap bahan-bahan yang seharusnya dipergunakan dalam menyusun tes tersebut.

Apabila materi tes tersebut telah cocok dengan analisa rasional yang kita lakukan, berarti tes yang kita nilai itu mempunyai validitas isi. Sebaliknya apabila materi tes tersebut menyimpang dari analisa rasional kita, berarti tes tersebut tidak valid ditinjau dari validitas isinya.

d. Validitas susunan (Construct validity)

Validitas susunan artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari susunan tes tersebut. Misalnya kalau kita ingin memberikan tes kecakapan ilmu pasti, kita harus membuat soal yang ringkas dan jelas yang benar-benar akan mengukur kecakapan ilmu pasti, bukan mengukur kemampuan bahasa karena soal itu ditulis secara berkepanjangan dengan bahasa yang sukar dimengerti.

Untuk mengetahui apakah suatu tes memenuhi syarat-syarat validitas susunan atau tidak maka kita harus membandingkan susunan tes tersebut dengan syarat-syarat penyusunan tes yang baik. Apabila susunan tes tersebut telah memenuhi syarat-syarat penyusunan tes maka berarti tes tersebut memenuhi syarat validitas susunan. Begitu pula sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat-syarat penyusunan tes berarti tidak memenuhi validitas susunan.

Validitas ramalan dan validitas bandingan disebut pula validitas empiris (empirical validity), sebab pengujian daripada validitas tersebut didasarkan atas perhitungan-perhitungan secara empiris. Sebaliknya validitas isi dan validitas susunan disebut pula validitas rasional (logical validity) sebab pengujian terhadap validitas tersebut didasarkan atas analisa rasional.

2. RELIABILITAS SUATU TES

Suatu tes dapat dikatakan tes yang reliable apabila tes tersebut menunjukkan hasil-hasil yang mantap. Ada beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mencari taraf reliabilitas daripada suatu tes.

a. Tehnik ulangan.

Mencari reliabilitas suatu tes dengan tehnik ulangan ialah dengan jalan memberikan tes tersebut kepada sekelompok anak-anak dalam dua kesempatan yang berlainan. Misalnya suatu tes diberikan kepada group A. Selang tiga hari atau seminggu kemudian tes tersebut diberikan lagi kepada group A dengan syarat-syarat tertentu. (misalnya soal-soal dalam tes tidak dibicarakan waktu antara itu, situasi tempat dibuat sama dan sebagainya). Skor yang diperoleh oleh anak-anak dalam periode pertama dikorelasikan dengan skor yang mereka peroleh dalam periode kedua. Besar kecilnya koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan reliabilitas dari tes tersebut.

b. Tehnik bentuk paralel.

Dalam tehnik ini dipergunakan dua buah tes yang sejenis (tetapi tidak identik), mengenai isinya, proses mental yang diukur, tingkat kesukaran jumlah item dan aspek-aspek yang lain.

Kedua tes ini diberikan kepada kelompok subyek tanpa adanya tenggang waktu. Skor yang diperoleh dari kedua tes tersebut dikorelasikan. Besar kecilnya koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan reliabilitas daripada tes tersebut.

Jika dibandingkan dengan tehnik ulangan, tehnik bentuk paralel ini lebih menguntungkan karena :

1). Item-item yang dipergunakan tidak sama maka pengaruh daripada hasil latihan dapat dihindarkan.

2). Tidak adanya tenggang waktu maka perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tes boleh dikatakan tidak ada. Misalnya faktor situasi tes, administrasi, pengawasan dan sebagainya.

Kelemahan daripada tehnik ini ialah adanya kesukaran untuk menyusun item-item yang betul-betul paralel.

c. Tehnik belah dua

Dalam tehnik ini, tes yang telah diberikan kepada sekelompok subyek dibelah menjadi dua bagian. Kemudian tiap-tiap bagian diberikan skor secara terpisah. Ada dua prosedure yang dapat dipergunakan untuk memebelah dua suatu tes yaitu :

1). Prosedure ganjil genap, artinya seluruh item yang bernomor ganjil dikumpulkan menjadi satu kelompok, dan seluruh item yang bernomor genap menjadi kelompok yang lain.

2). Prosedure secara random, misalnya dengan jalan lotre, atau dengan jalan mempergunakan tabel bilangan random.

Koefisien korelasi yang diperoleh dari kedua belahan itu menunjukkan reliabilitas dari setengah tes.

Untuk mencari reliabilitas seluruh tes dipergunakan rumus Spearman Brown sebagai berikut:

=

Keterangan:

=

Koefisien korelasi seluruh tes

N

=

Perbandingan antara panjang tes seluruhnya dengan panjang tes yang dikorelasikan.

=

Koefisien korelasi antara sebagian tes dengan bagian tes lainnya.

Contoh :

Suatu tes terdiri dari 50 item. Secara random diambil 25 item sebagai belahan pertama dan 25 item sebagai belahan kedua. Skor yang dicapai oleh pengikut tes pada kedua belahan tersebut dikorelasikan. Koefisien korelasi yang diperoleh antara kedua belahan tersebut adalah 0,627. Maka koefisien korelasi seluruh tes dapat dicari sebagai berikut :

=

=

=

=

= 0,771.

3. TINGKAT KESUKARAN DAN DAYA BEDA SUATU TES

Suatu tes tidak boleh terlalu mudah, dan juga tidak boleh terlalu sukar. Sebuah item yang terlalu mudah sehingga dapat dijawab dengan benar oleh semua anak bukanlah merupakan item yang yang baik. Begitu pula item yang terlalu sukar sehingga tidak dapat dijawab oleh semua anak juga bukan merupakan item yang baik. Jadi item yang baik adalah item yang mempunyai derajat kesukaran tertentu.

Disamping itu oleh karena suatu tes dimaksudkan untuk memisahkan antara murid-murid yang betul-betul mempelajari suatu pelajaran dengan murid-murid yang tidak mempelajari pelajaran itu, maka tes/item yang baik adalah tes/item yang betul-betul dapat memisahkan kedua golongan murid tadi. Jadi setiap item di samping harus mempunyai derajat kesukaran tertentu, juga harus mampu membedakan antara murid yang pandai dengan yang bodoh.

Untuk mencari Derajat Kesukaran (DK) dan Daya Beda (DB) suatu item dapat dilakukan dengan jalan mengadakan analisis item-item, (item analysis). Dalam analisis item di samping mencari DK dan DB nya, juga dapat dicari efektivitas setiap option yang digunakan dalam item tersebut. Ada bebarapa cara yang dapat dilakukan dalam analisis item tersebut. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan prosedure sebagai berikut :

a. Susunlah lembar jawaban anak-anak. Lembar jawaban yang mendapat skor paling tinggi ditaruh paling atas, dibawahnya adalah lembar jawaban yang mendapat skor lebih rendah, demikian seterusnya sehingga lembar jawaban yang mendapat skor paling rendah diletakkan paling bawah.

b. Ambillah 27% lembar jawaban dari atas. 27% lembar jawaban yang diambil dari ats ini kita sebut kelompok atas. Dan ambil pula 27% lembar jawaban dari bawah. 27% lembar jawaban yang diambil dari bawah ini kita sebut kelompok bawah. Sisanya yang ditengah-tengah sebanyak 46% kita sisihkan, karena tidak diikutkan dalam analisis.

c. Buatlah tabel seperti di bawah ini :

No. item

WL

WH

WL + WH

WL - WH

1

2

3

4

5

6

dst

d. Isilah kolom-kolom tabel tersebut dengan data yang diperoleh. Misalnya untuk item no.1 dibawah kolom WL supaya diisi berapa orang dari kelompok bawah yang salah pada item no. 1 tersebut. Di bawah kolom WH supaya diisi berapa orang dari kelompok atas yang salah pada item no.1 tersebut. Selanjutnya kolom (WL + WH) dan kolom (WL - WH) dengan sendirinya bisa diisi.

e. Derajat Kesukaran (DK) atau Degree of Difficulty (DD) dapat dicari dengan rumus:

Keterangan :

DK

=

Derajat kesukaran

nL

=

Jumlah kelompok bawah

nH

=

Jumlah kelompok atas

f. Daya Beda (DB) atau Discriminating Power (DP) dapat dicari dengan rumus:

Keterangan :

DB

=

Daya beda

n

=

Jumlah kelompok atas atau kelompok bawah

Contoh :

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai langkah-langkah yang ditempuh dalam mencari derajat kesukaran dan daya beda suatu item di bawah ini akan dikemukakan sebuah contoh.

a. Kita misalkan murid yang mengikuti tes yang kita berikan adalah sebanyak 50 orang. Lembar jawaban murid-murid tersebut kita susun dari skor tertinggi paling atas sampai dengan skor terendah paling bawah.

b. Kita ambil 27% dari mereka yang mendapatkan skor tertinggi. Dalam hal ini 27% X 50 orang sama dengan 13,5 orang kita bulatkan menjadi 14 orang. Begitu pula kita ambil 27% dari mereka yang mendapatkan skor terendah. Jumlahnya tentu sama dengan kelompok atas, yaitu 14 orang juga.

c. Misalkan data yang diperoleh adalah sebagai berikut:

- Untuk item no.1, dari kelompok bawah salah 9 orang dan dari kelompok atas salah 2 orang.

- Untuk item no.2, dari kelompok bawah salah 8 orang dan dari kelompok atas salah 5 orang.

- Untuk item no.3, dari kelompok bawah salah 14 orang dan dari kelompok atas salah 8 orang.

- Untuk item no.4, dari kelompok bawah salah 8 orang dan dari kelompok atas tidak ada yang salah.

- Untuk item no.5, dari kelompok bawah salah 6 orang dan dari kelompok atas salah 11 orang.

- Untuk item no.6, dari kelompok bawah salah 8 orang dan dari kelompok atas salah 3 orang.

d. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dibuat tabel seperti dibawah ini.

No. item

WL

WH

WL + WH

WL - WH

1

9

2

11

7

2

8

5

13

3

3

14

8

23

6

4

6

0

6

6

5

13

11

24

2

6

2

3

5

-1

dst

-

-

-

-

e. Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka derajat kesukaran untuk masing-masing item dapat dicari sebagai berikut :

- Untuk item no.1.

- Untuk item no.2.

- Untuk item no.3.

- Untuk item no.4.

- Untuk item no.5.

- Untuk item no.6.

f. Berdasarkan tabel di atas pula, maka daya beda tiap item dapat dicari sebagi berikut :

- Untuk iten no.1.

- Untuk item no.2.

- Untuk item no.3.

- Untuk item no.4.

- Untuk item no.5.

- Untuk item no.6

Derajat kesukaran yang baik adalah derajat kesukaran yang bergerak antara 25% sampai 75%. Item yang mempunyai derajat kesukaran di bawah 25% berarti bahwa item tersebut terlalu mudah. Sebaliknya item yang mempunyai derajat kesukaran di atas 75%, berarti bahwa item tersebut terlalu sukar.

Daya beda yang ideal adalah daya beda 0,40 ke atas. Namun untuk ulangan-ulangan harian, masih dapat ditolerir daya beda sebesar 0,20.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat kita seleksi, item-item mana yang memenuhi syarat dan item mana yang tidak memenuhi syarat. Item-item yang memenuhi syarat dapat kita simpan dan kita gunakan untuk keperluan evaluasi yang akan datang. Item-item yang tidak memenuhi syarat harus dibuang atau direvisi. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengadakan revisi item ialah effektifitas daripada masing-masing option yang digunakan dalam item tersebut. Untuk mengetahui apakah suatu option berfungsi secara efektif atau tidak, ditempuh prosedure sebagai berikut:

a. Ambil 27% lembar jawaban yang mendapat skor tertinggi dan 27% lembar jawaban yang mendapat skor terendah (Jadi sama dengan prosedure mencari derajat kesukaran dan daya beda).

b. Buat tabel sejumlah item yang akan diuji efektifitas option-optionnya, sebagai berikut :

c. Isikan distribusi pilihan terhadap option yang disediakan baik untuk kelompok atas maupun untuk kelompok bawah.

d. Berdasarkan distribusi pilihan kelompok atas dan kelompok bawah, maka dapat dihitung option mana yang berfungsi secara efektif dan option mana yang tidak berfungsi secara efektif. Pedoman yang digunakan untuk menentukan efektifitas suatu option adalah sebagai berikut :

1). Untuk option kunci

- Jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah tidak kurang dari 25% tetapi tidak lebih dari 75%.

- Frekuensi pilihan kelompok atas harus lebih tinggi daripada frekuensi pilihan kelompok bawah.

2). Untuk option pengecoh (distractor)

- Jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah, minimal adalah 25% kali satu per dua kali jumlah option pengecoh kali jumlah kelompok atas ditambah kelompok bawah.(lihat contoh).

Contoh :

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang prosedure yang ditempuh dalam menguji efektifitas option-option di bawah ini disajikan sebuah contoh :

a. Kita misalkan jumlah murid yang dites adalah 50 orang. Sehingga 27% nya setelah dibulatkan adalah 14 orang.

b. Misalkan pula bahwa item tersebut menggunakan lima buah option, yaitu : (a), (b), (c), (d), dan (e). Option kuncinya adalah (b), sehingga option pengecohnya adalah (a), (c), (d), dan (e).

c. Misalkan lagi bahwa kelompok atas yang memilih option (a) sebanyak satu orang, yang memilih option (b) sebanyak sembilan orang, yang memilih option (c) sebanyak empat orang, yang memilih option (d) tidak ada dan yang memilih option (e) juga tidak ada.

Kelompok bawah yang memilih option (a) sebanyak delapan orang, yang memilih option (b) dua orang, yang memilih option (c) tiga orang, yang memilih option (d) satu orang dan yang memilih option (e) tidak ada.

Dengan demikian maka isian tabelnya adalah sebagai berikut :

Option

a

b

c

d

e

Kelompok

Atas

1

9

4

0

0

bawah

8

2

3

1

0

d. Berdasarkan tabel tersebut maka dapat kita uji bagaimana efektifitas dari masing-masing option tersebut :

- Option (b), sebagai option kunci berfungsi cukup efektif, sebab jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah adalah

Jadi lebih besar dari 25% dan lebih kecil dari 75%. Di samping itu frekuensi pemilih kelompok atas (9 orang), lebih besar daripada frekuensi pemilih kelompok bawah.

- Option (a) sebagai option pengecoh berfungsi sangat efektif sebab jumlah pemilihnya 9 orang. Jadi tidak kurang dari . Disamping itu frekuensi pemilih kelompok bawah (8 orang) lebih tinggi daripada frekuensi pemilih kelompok atas (1 orang).

- Option (c) sebagai option pengecoh tidak berfungsi secara efektif, sebab frekuensi pemilih kelompok atas (4 orang) lebih tinggi daripada frekuensi pemilih kelompok bawah (3 orang).

- Option (d) sebagai option pengecoh agak efektif, karena jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah (1 orang) tidak kurang dari orang. Serta frekuensi pemilih kelompok bawah lebih besar daripada frekuensi pemilih kelompok atas.

- Option (e) sebagai option pengecoh tidak berfungsi secara efektif, sebab jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah kurang dari 0,875 orang. (kurang dari orang).

Tingkat kesukaran maupun daya beda suatu item dapat berbeda-beda dari satu kelompok murid dengan kelompok murid lainnya. Oleh karena itu tidaklah bijaksana menentukan secara mutlak daya beda minimum suatu item. Yang penting untuk diingat adalah : apakah item itu memiliki daya beda positif atau tidak, apakah pengecoh berfungsi secara efektif atau tidak, apakah setiap item mengukur hasil belajar yang penting atau tidak? Kalau semua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan ya, maka item itu hendaknya dipertahankan, dan disimpan dalam suatu map untuk dapat digunakan kemudian hari.

Kalau item tadi digunakan lagi pada kelompok murid yang akan datang, hendaknya diadakan analisis kembali, dan mencatat item tersebut dalam sebuah kartu kecil dengan menuliskan pula tingkat kesukaran, daya beda dan efektivitas option-optionnya.

4. Praktikabilitas

Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasinya. Tes yang baik adalah tes yang :

a. Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak.

b. Mudah pemeriksaannya, artinya tes itu dilengkapi dengan kunci jawabanmaupun pedoman skoring.

c. Dilengkapi dengan petunjukpetunjuk