SELAMAT DATANG DI SULUH PENDIDIKAN

Cahaya untuk Dunia Pendidikan Indonesia yang Lebih Baik

Sabtu, 09 Mei 2009

SEMANTIK

ASPEK-ASPEK SEMANTIK


UNDIKSHA.bmp


Oleh

I Wayan Pariawan O612011028

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2009

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek-aspek Semantik” tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini penulis wujudkan sebagai tindak lanjut atas tugas mata kuliah Semantik yang dibimbing oleh Bapak Drs. I Wayan Rasna, M.Pd. Di samping itu, makalah ini juga direalisasikan sebagai upaya penulis mengaplikasikan segenap kemampuan (sementara) mengenai spesifikasi ilmu Semantik.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Drs. I Wayan Rasna, M.Pd., karena senantiasa memberikan inspirasi dan motivasi bagi penulis untuk selalu bersemangat menggeluti jam demi jam perkuliahan Semantik, baik di dalam maupun di luar kelas. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah berkontribusi positif terhadap persiapan dan pengerjaan makalah sederhana ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat kontruktif dari segenap pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi sivitas akademika Universitas Pendidikan Ganesha.

Singaraja, April 2009

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PRAKATA ................................................................................................. i

DAFATR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah................................................................ 1

1.3. Tujuan Penulisan.................................................................. 2

1.4. Metode penulisan ............................................................... 2

1.5. Manfaat Penulisan............................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3

2.1 Tanda dan Lambang ............................................................. 3

2.2 Konsep .................................................................................. 5

2.3 Penamaan .............................................................................. 7

BAB III PENUTUP................................................................................. 14

4.1. Simpulan ............................................................................ 14

4.2. Saran................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa merupakan suatu system lambang bunyi yang bersifat arbitrer. Sebuah telaah tentang semantik tidak akan selesai dengan memberikan makna pada setiap kata dalam sebuah bahasa. Semantik berasal dari bahasa yunani, semantik dinyatakan sebagai ilmu makna.

Makna bahasa, khususnya makna kata, terpengaruh oleh berbagai konteks. Makna kata dapat dibangun dalam kaitannya dengan benda atau objek di luar bahasa. Dalam konsepsi ini, kata berperan sebagai label atau pemberi nama pada benda-benda atau objek-objek yang berada di alam semesta. Makna kata juga dapat dibentuk oleh konsepsi atau pembentukan konsepsi yang terjadi dalam pikiran pengguna bahasa. Proses pembentukannya berkait dengan pengetahuan atau persepsi penggunaan bahasa tersebut terhadap fenomena, benda atau peristiwa yang terjadi di luar bahasa. Dalam konteks ini, misalnya penggunaan bahasa akan tidak sama dalam menafsirkan makna kata demokrasi karena persepsi dan konsepsi mereka berbeda terhadap kata itu. Selain kedua konsepsi itu, makna kata juga dapat dibentuk oleh kaitan antara stimulus, kata dengan respons yang terjadi dalam suatu peristiwa ujaran.

Semantik juga mencakup tentang aspek-aspek yang ada pada semantik berupa penamaan yaitu proses perlambangan suatu konsep untuk mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, aspek-aspek semantik juga mengacu pada peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, penemuan dan pembuatan, tempat asal, bahan, keserupaan, pemendekan dan penamaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ingin dipecahkan.

1. Apa yang dimaksud dengan tanda dan lambang?

2. Apa yang dimaksud dengan konsep?

3. Apa yang dimaksud dengan penamaan?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah, maka dapat disampaikan tujuan penulisan makalah ini.

1. Untuk mengetahui tanda dan lambang.

2. Untuk mengetahui konsep.

3. Untuk mengetahui penamaan.

1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, tim penulis menggunakan metode kepustakaan, karena peulis menggunakan beberapa referensi untuk dapat memahami tentang aspek-aspek semantik dalam bahasa Indonesia.

1.5 Manfaat Penulisan

Secara teoritis, makalah ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dan menambah referensi mengenai aspek-aspek semantik. Secara prktis, makalah ini dapat digunakan oleh mahasiswa sebagai acuan dalam melakukan berbagai penelitian mengenai ilmu semantik, khususnya mengenai aspek-aspek semantik.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TANDA DAN LAMBANG

Di dalam kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007 : 1134), ‘tanda’ diartikan sebagai (1) yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu; (2) gejala; (3) bukti; (4) pengenal.

Teori tanda dikembagkan oleh C.S Peirce (1839-1914) dan dalam bidang Linguistik dikembngkan oleh Ferdinad de Saussure (1857-1913). Dalam perkembangannya teori tanda dikenal dengan semiotic, yang dibagi dalam tiga cabang, yaitu :

1. Semantik

2. Sintaktik

3. Pragmatic

Semantik berhubungan dengan tada-tanda, sintaksis berhubungan dengan gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda); sedangkan pragmatic berhubungan dengan asal-usul, pemakaian dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa.

Penggolongan tanda dapat dilakukan dengan cara:

1) Tanda yang ditimbulkan oleh alam, diketahui oleh manusia karena pegalaman, misalnya.

a. Hari mendung tanda akan hujan

b. Hujan terus menerus dapat menimbulkan banjir

c. Banjir dapat menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan

2) Tanda yang ditimbulkan oleh binatang, diketahui manusia dari suara binatang tersebut, misalnya :

a. Anjing menggonggong tanda ada orang masuk halaman

b. Kucing bertengkar (mengeong) dengan ramai suaranya tanda ada wabah penyakit atau keributan

3) Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, tanda ini dibedakan atas:

a. Yang bersifat verbal

b. Yang bersifat non-verbal

Tanda-tanda yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang dihasilkan manusia melalui alat-alat bicara (organ of speach); tanda-tanda non-verbal adalah tanda-tanda yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, sama halnya dengan tanda verbal.

Tanda yang bersifat non-verbal dapat dibedakan menjadi dua.

1) Tanda yang dihasilkan anggota badan dikenal sebagai bahasa yaitu:

a. acungan jempol bermakna hebat, bagus.

b. menggelengkan kepala bermakna tidak, bukan.

c. mengangguk bermakna ya, setuju, menghormati.

2) Tanda yang dihasilkan melalui bunyi (suara), misalnya:

a. bersiul bermakna gembira, memanggil, ingin dikenal.

b. menjerit bermakna sakit, minta tolong, ada bahaya.

c. berdeham (batuk-batuk) ada orag, ingin dikenal.

3) Tanda yang diciptakan oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan.

4) Benda-benda yang bermakna ritual dan cultural.

Lambang atau symbol memiliki hubungan tidak langsung dengan kenyataan. Tanda dalam bentuk huruf-huruf disebut lambang atau symbol, apa yang tertulis, apa yang kita dengar dari seseorang yang berfungsi sebagai alat komunikasi disebut lambang atau symbol. Perbedaan tanda dan symbol terletak pada hubungannya dengan kenyataan, tanda menyatakan hubungan langsung dengan kenyataa, sedangkan symbol tidak.

Bandingkan tanda dan lambang di bawah ini!

Lambang menurut Plato adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang kita hayati di dunia, berupa rujukan yang ditujukan oleh lambang. Hubungan lambang dengan bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas tada dan lambang.

Hubungan antara significant dan signifie bersifat arbritrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-i di dalam bahasa sunda atau w-i-t dalam bahasa jawa.

Significant bersifat linear, unsure-unsurnya membentuk suatu rangkaian (unsure yang mengikuti unsure yang lain).

Perbedaan antara lambang dan tanda terletak pada hubungannya dengan kenyataan.

a. Tanda memperlihatkan hubungan langsung dengan kenyataan sedangkan lambang memperlihatkan hubungan yang tidak langsung dengan kenyataan.

b. Tanda bersifat terbatas, lambat bertambah, sedangkan lambang berkembang dengan cepat sesuai dengan perkembangan pemikiran penutur bahasa yang bersangkutan

c. Lambang memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat bicara manusia yang kemudian jika ingin dinyatakan dalam bentuk tertulis, maka lambang-lambang tadi menggunakan grafen-grafen tertentu, sedangkan tanda tidak seperti itu.

d. Tanda, meskipun bersifat konvensional tidak dapat diorganisasi, tidak dapat direkam, dan tidak dapat dikomunikasikan seperti lambang.

2.2 KONSEP

Konsep merupakan istilah yang diajukan oleh Lyons sebagai pengganti istilah ‘thought’ atau ‘reference’. Istilah ‘konsep’ ini sebenarnya sama dengan istilah ‘makna’. Jika kita berbicara tentang konsep atu makna, kita tidak bisa mengabaikan keberadaan dua unsure dasar dalam system tanda yang secara langsung memiliki hubungan dengan konsep atau makna, yaitu

1. significant : unsure abstrak yang terwujud dalam lambang atau symbol,

2. signifikantor: yang dengan adanya makna dalam lambang atau symbol itu mampu mengadakan penjulukan, melakukan proses berpikir, dan mengadakan konseptualisasi.

Signifikantor ini terwujud dalam acuan atau referent (benda yang ditunjukan oleh simbol). Dengan demikin, ada tiga unsure dasar system tanda yang digambarkan oleh Richards dan Odgen melalui segitiga makna (semantik triangle).

Lambang atau symbol adalah satuan bahasa yang berupa kata atau kalimat. Acuan atau referent adalah objek, peristiwa, fakta, atau proses di dalam dunia pengalamn manusia, sedangkan konsep atau reference atau pikiran adalah apa yang ada dalam benak kita tentang objek yang ditunjukan oleh lambang atau symbol.

Dalam gambar di atas tampak bahwa antara konsep dan lambang terdapat hubungan timbal balik. Kata ‘rokok’ yang diujarkan oleh seseorang penutur dapat menyebabkan penanggap tutur memikirkan kata tersebut. Demikian pula si penutur. Dengan konsepnya dia memakai lambang ‘r-o-k-o-k’ untuk mengacu pada objek yang sama. Dengan kata lain, sebelum seseorang penutur mengatakan suatu lambang, di dalam benaknya sudah ada konsep (makna), kemudian lambang itu dimaknai oleh penanggap tutur. Hubungan timbal balik ini dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Hubungan antara konsep dengan cuan (objek) bersifat searah. Acuan atau objek memberikan stimulus kepada pemakai lambang (penutur) sehingga ia memiliki konsep atau mental image tentang objek tersebut. Tidak ada gerak arah panah dari konsep ke acuan karena konsep tidak menyebabkan acuan itu terwujud.

Hubungan antara lambang dengan acuan bersifat arbiter sehingga sebuah acuan yang sama bisa saja diberi lambang atau symbol yang berbeda-beda. Menurut teori ini tidak ada hubungan lngsung antara lambang dengan acuannya.

Keberadaan segi tiga semantik yang diajuka oleh Richards dan Odgen ternyata menimbulkan munculnya berbagai pendapat (kritik). Salah satu kritik yang muncul, dilontarkan oleh Ullman. Menurutnya, segi tiga semantik itu terlalu luas karena masuknya acuan atau referent ke dalam segi tiga semantik itu. Lebih lanjut ia mengkritik bahwa cuan tidak bisa dimasukan ke dalam segi tiga semantik karena berada di luar kekuasaan ahli bahasa (linguis). Acuan merupakan urusan bidang ilmu lain, oleh karena itu ia berpendapat bahwa para ahli bahasa sebaiknya hanya memperhatikan lambang (simbol) dan konsep (makna) yang terletak pada sisi sebelah kiri segi tiga semantik itu.

2.3 PENAMAAN

Dalam pembicaraan mengenai hakikat bahasa ada dikatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbister. Maksudnya, antara suatu satuan bahasa sebagai lambang, misalnya kata, dengan suatu benda atau hal yang dilambangkan bersifat sewenang-wenang tidak ada hubungan “wajib” diantara keduanya. Umpamanya antara kata “kuda” dengan benda yang diacunya yaitu seekor binatang yang biasa dikendarai atau dipakai menarik pedati, tidak bisa dijelaskan sama sekali. Lagi pula andaikata ada hubungannya antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, tentu orang jawa tidak akan menyebutnya “jaran”, orang Inggris tidak akan menyebutnya “horse”, dan orang belanda menyebutnya “paard”. Tentu saja mereka tidak akan menyebutnya “kuda” sama dengan orang Indonesia.

Plato di dalam suatu percakapan yang berjudul “Cratylos” menyatakan bahwa lambang itu adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang dihayati di dunia nyata berupa rujukan, acuan, atau sesuatu yang ditunjuk oleh lambang itu. Oleh karena itu, lambang-lambang atau kata-kata itu tidak lain daripada nama atau label dari yang dilambangkannya, mungkin berupa benda, konsep, aktivitas, atau peristiwa.

Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mengalami kesulitan dalam member nama-nama atau label-label terhadap benda-benda atau peristiwa-peristia yang ada di sekelilignya karena terlalu banyak dan beragamya benda-benda atau peristiwa-peristiwa tersebut. Maka lahirlah nama kelompok dari benda atau hal yang berjenis-jenis itu. Misalnya nama binatang, tumbuh-tumbuhan, nama buah-buahan, dan sebagainya. Yang dinamai rumput, misalnya adalah sejenis tumbuhan rendah, yang meliputi berates mungkin beribu-ribu spices. Mungkin kita tahu nama pohon seperti durian, salak, mangga, atau pisang, tetapi pergilah ke hutan atau kebun raya, pasti masih lebih banyak jenis pohon yang namanya tidak dikenal.

Walaupun demikian secara kontemporer kita masih dapat menelusuri sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi terjadinya penamaan atau penyebutan terhadap sejumlah kata yang ada dalam leksikon bahasa Indonesia.

2.3.1 Peniruan Bunyi

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang terbentuk sebagai hasil peniruan bunyi. Maksudnya, nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh benda tersebut.

Contoh.

1. Binatang sejenis reptile kecil yang melata di dinding disebut cecek karena bunyinya “cak, cak, cak’

2. Begitu juga dengan tokek diberi nama seperti itu karena bunyinya “tokek, tokek”

Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini disebut kata peniru bunyi atau anomatope. Sejalan dengan itu, banyak pula dibentuk kata kerja atau nama perbuatan dari tiruan bunyi itu, misalnya, bisa dikatakan ayam berkokok, anjing menggonggong, ular mendesis, dan sebagainya.

Dalam bercerita pun orang acap menirukan bunyi-bunyi benda atau hal yang diveritakan, seperti,

a. kudengar bunyi ketukan di pintu “tok, tok, tok” dan sebelum aku bangkit, dia sudah muncul di pintu,

b. “klik” terdengar bunyi anak kunci diputar orang,

c. “bret, bret” dirobeknya kertas itu menjadi 3 lembar.

Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini sebenarnya juga tidak persis sama, hanya mirip saja disebabkan sebagai berikut,

1. karena benda atau binatang yang mengeluarkan bunyi itu tidak mempunyai alat fisiologis seperti manusia,

2. kedua, karena sistem fonologi setiap bahasa tidak sama.

2.3.2 Penyebutan Bagian

Dalam bidang kesusastraan ada istilah pas pro toto yaitu gaya bahasa yang menyebutkan bagian dari suatu benda atau hal, padahal yang dimaksud adalah keseluruhannya. Misalnya kata kepala dalam kalimat setiap kepala menerim bantuan seribu rupiah, bukanlah dalam arti “kepala” itu saja, melainkan seluruh orangnya.

Sesungguhnya gejala pars pro toto ini bukan semata-mata gaya retorika dalam kesusastraan saja, tetapi juga merupaka gejala umum dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Umpamanya, kalau kita masuk ke rumah makan da meminta kopi, maka pasti pemilik atau pelayan rumah makan itu tidak akan menyodorkan kopi saja, melainkan sudah diseduh denganair panas, diberi gula, dan ditempatkan dalam cangkir atau wadah air.

Penamaan suatu benda atau konsep berdasarkan bagian dari benda itu biasanya berdasarkan cirri yang khas atau yang menonjol dari benda itu dan yang sudah diketahui umum.

Kebalikan dari pars pro toto adalah gaya retorika yang disebut totem pro parte yaitu menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Misalnya kalau dikatakan Indonesia memenangkan medali perak di olimpiade yang dimaksud hanyalah tiga orang atlet panahan putra.

2.3.3 Penyebutan Sifat Khas

hampir sama dengan pars pro toto yang dibicarakan di atas adalah penamaan sesuatu benda berdasarakn sifat yang khas yang ada pada benda itu. Gejala ini merupakan peristiwa semantik karena dalam peristiwa itu terjadi transposisi makna dalam pemakaian yakni perubahan dari kata sifat menjadi kata benda. Di sini terjadi perkembangan yaitu berupa cirri makna yang disebut dengan kata sifat itu mendesak kata bendanya karena sifatnya yang amat menonjol itu, sehingga akhirnya kata sifat itulah yang menjadi nama bendanya. Umpanya , orang yang sangat kikir lazim disebut si kikir atau si bakhil. Anak yang dapat tumbuh menjadi besar, tetap saja kecil, disebut si kerdil, yang kulitnya hitam disebut si hitam, dan yang kepalanya botak disebut si botak.

Di dalam dunia politik dulu ada istilah golongan kanan dan golongan kiri. Maksudnya golongan kanan untuk menyebut golongan agama dan golongan kiri untuk menyebut golongan komunis. Dalam kampanye pemilu juga muncul istilah golongan putih yaitu untuk menyebut kelompok orang yang tidak mau memilih satu partai politik dalam pemilu.

2.4.4 Penemu dan Pembuat

Banyak nama benda dalam kosakata bahasa Indonesia yang dibentuk berdasarkan nama penemunya, nama pabrik pembuatnya atau nama dalam peristiwwa sejarah. Proses penamanaan seperti ini disebut appelativa.

Nama-nama benda yang dibentuk berdasarkan nama penemunya, antara lain:

1) Kondom: nama sejenis alat kontrasepsi yang dibuat oleh Dr. Condom;

2) Mujair atau Mujahir nama sejenis ikan tawar yang ditemukan dan diternakkan oleh seorang petani yang bernama Mujair di Kediri jawa Timur

3) Volt: nama satuan kekuatan listrik yang diturunkan dari nama penciptanya, Volta, soerang sarjana Fisika berkebangsaaan Italia (1745-177);

4) Sinar Rontgen: nama sinar yang dipakai untuk menfoto bagian dalam tubuh yang ditemukan oleh Rontgen;

5) Teori mendel: teori genetika yang dikemukan oleh Mendel;

Nama benda yang dibentuk berdasarkan nama pabrik atau merek dagang antara lain :

1) Aspirin: obat sakit kepala,

2) Ciba: obat sakit perut,

3) Miwon: bumbu masak,

4) Tip ex: alat koreksi tulisan atau ketikan,

5) Kodak: alat potret,

6) Stabilo: pena penanda bacaan,

7) Diesel: nama sejenis mesin kendaraan

Nama benda yang dibentuk berdasarkan peristiwa sejara, antara lain:

1. Bikot: nama tuan tanah di Inggris, Boycott, yangkarena tindakannya yang terlalu keras, pada tahun 1880 oleh perserikan tuan tanah Irlandia tidak diikutkan dalam perserikatan itu; kalau ada orang diikutsertakan dalam suatu kegiatan, orang itu diboikot, diperlukan seperti tuan boycott;

2. Lloyd(Djakarta Lloyd): nama perusahaan pelyaran yang diturunakn darai nama seorang pengusaha warung kopi, edward Lloyd, di kota London pada abab XVII; warung kopi itu banyak dikunjungi oleh para pelaut dan makelar pelayaran;

3. Laksamana; nama dalam jenjang kepangkatan yang diambil dari salah satu tokoh dalam wiracarita Ramayana;

4. Sandwich: nama roti dengan mentega dan daging di dalamnya yang diturunkan dari nama seorang bangsawan Inggris, sandwich yang selalu membawa roti seperti di atasagar dia dapat makan sambil tetap bermain judi;

5. Bayangkara: nama korps kepolisian RI yang diambil dari nama pasukan pengawal raja pada zaman Majapahit.

2.4.5 Tempat Asal

Ada nama-nama benda yang berasal dari nama tempat asal benda tersebut,misalnya kata magnit yang berasal dari nama tempat Magnesia, Kenari(nama sejenis burung) berasal dari nama pulau Kenari di Afrika, sarden (ikan sarden) berasal dari pulau Sardinia di Italia, klonyo 9au de Cologne) berasal dari nama kota Jerman Barat, air dari Keulun, berus berasal dari nama tempat di Sumatra Barat, kain damas yang biasa dipakai sebagai taplak meja berasal dari nama kota damaskus.

Ada pula nama piagam atau prasasti yang disebut berdasarkan nama tempat penemunya. Misalnya nama piagam kota kapur, piagam telaga batu, piagam Jakarta, atau prasasti Kedukan Bukit. Selain itu, nama perundingan atau perjanjian pun biasanya dibentuk berdasarkan nama perundingan itu diadakan. Misalnya, perjanjian Gianti, perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, pertemuan Bogor, atau Konferensi Jenewa.

Saat ini tidak hanya kata benda yang dibentuk dari nama tempat, tetapi kata kerja ada yang dibentuk dari nama tempat. Misalnya, didugulkan (dibuang ke Digul di Irian jaya), dinusakambangankan (dipenjarakan di nusa kambangan), dilautkan (diceburkan ke dalam laut), dicakungkan (dibawa dan disimpan di gudang milik pemerintah di daerah cakung, Jawa Timur).

2.4.6. Bahan

Ada beberapa nama benda yang dimabil dari nama bakan pokok benda itu. Misalnya, goni adalah nama karung yang dibuat dari goni, yaitu sejenis serat tumbuh-tumbuhan yangdalam bahasa laitinya disebut Corchorus Capsularis; kaca adalah nama bahan, kemudian digunakan untuk menyebut nama-nama benda seperti kaca mata, kaca mobil, kaca jendela. Kata perak dan kalengpun pada mulanya adalah nama bahan. Tetapi sekarang nama benda yang dibuat dengan bahan-bahan itu disebut dengan nama benda itu, seperti perak bakar dan uang perakan, kalen g susu, kaleng minyak. Contoh nama lain yang dilakukan berdasarkan bahan adalah bambu runcing, yaitu nama senajata yang digunakan rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan zaman dahulu. Bambu runcing terbut dari bambu yang ujungnya diruncingi sampai tajam.

2.4.7 Keserupaan

Dalam kehidupan berbahas banyak penggunaan kata yang bersifat metaforsis, artinya makna kata yang digunakan dalam satu tuturan dipersamakan dengan makna leksikal dari kata itu. Misalnya kata kaki pada kaki meja, kaki gunung atau kaki kursi. Disini kata kaki memiliki kesamaan makna dengn salah satu ciri makna kata kaki , yaitu alat penopang berdirinya tubuh dan ciri terletak di bagian bawah. Demikian pula kata kepala pada kata kepala kantor, atau kepala surat. Kata kepala memiliki kesamaan makna dengan salah satu komponen makna leksikal dari kata kepala itu, ada pula nama benda yang dibuat berdasarka kesamaan sifat atau ciri dari makna leksikal kata itu. Misalnya, kata raja pada kata raja kumis, raja minyak, raja jalanan atau raja dangdut. Raja kumis diartikan orang memiliki kimus paling lebat; raja minyak diartikan sebagai pengusaha minyak yang paling besar.

2.4.8. Pemendekan

Dewasa ini banyak kata dalam bahsa Indonesia yang terbentuk dari hasil penggabungan unsur-unsur huruf awal atau suku kata dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Misalnya ABRI yang berasal dari kata angkatan bersenjata republik Indonesia. KONI berasal dari Komite Olaharaga NAsional Indonesia. Tilang berasal dari bukti pelanggaran, tabanas berasal dari tabungan pembangunan nasional, atau monas berasal dari monumen nasional. Kata-kata yang terbentuk dari hasil pemendekan ini dikenal dengan istilah akronim. Kata-kata akronim juga dikenal dalam segala bidang kehidupan, misalnya rudal (peluru kendali), pemda (pemerintah daerah), lemhanmas (lembaga pertahanan nasional)pemuli (pemilihan umum).

BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Sebuah telaah tentang semantic tidak akan selesai dengan memberikan makna pada pada setiap kata dalam sebuah bahasa. Dalam pembicaraan mengenai hakiat bahasa ada dikatakan bahwa bahasa adalah system lambang bunyi yang bersifat arbistres, bahasa juga terbentuk sebagai hasil peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, penemu dan pembuat, tempat asal, bahan, keserupaan, pemendekan, dan penamaan baru.

Belajar mengenai semantic, akan memberikan kita gambaran tentang bagaimana benda-benda dan peristiwa yang ada di sekitar kita memperoleh penamaan. Hubungan antara peristiwa dengan pikiran dan konsep manusia.

3.2 SARAN

Kehadiran paparan mengenai aspek-aspek semantic ini dalam bahasa Indonesia sangat penting untuk menambah pemahaman dan wawasan mengenai aspek-aspek semantic. Dalam mempelajari tentang aspek-aspek semantic, sangat perlu ditambah dengan referensi yang memadai, sehingga mampu memberikan gambaran yang lebih jelas.

DAFTRA PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna.

Bandung: Refika Aditama

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta

Sofa. 2008. Cakupan Semantik. "http://massofa.wordpress.com

(diakses pada 9 April 2009 pukul 18.00 Wita)